Gong dan Guci dari pedagang ( sub judul asli : Perdagangan hasil-hasil hutan Kalimantan)

Jika melakukan perjalanan melalui daerah-daerah Dayak di Kalimantan, kita masih akan melihat gong-gong tembaga dan guci-guci porselen yang besar-besar, yang sangat disukai mereka. Kita akan melihat benda-benda ini dalam jumlah yang banyak di rumah-rumah kepala desa dan orang-orang berpangkat. Baik di ruangan terbesar di rumah panjang milik kepala suku di Apo Kayan, maupun di rumah-rumah tunggal dengan hiasan meriah milik kepala-kepala suku di tempat-tempat lain, gong dan guci selalu dipamerkan dengan menonjol. Tingginya nilai sosial gong tembaga dan guci keramik ini telah diperhatikan dan dijelaskan dalam sebuah kepustakaan mengenai masyarakat Kalimantan selama seratus tahun terakhir ini. di sini hanya akan menekankan kembali bahwa gong dan guci-guci ini bukanlah barang-barang yang dibuat setempat. Orang-orang Dayak memperolehnya melalui perdagangan dengan orang luar. Orang-orang Dayak menyatakan bahwa "dari jaman nenek moyang dulu" mereka telah berdagang dengan "orang luar" dari hilir. Sering-sering, orang luar ini adalah orang-orang Melayu Pesisir, dan orang Bugis. Dari para pedagang inilah , kata orang Dayak, mereka memperoleh gong dan guci yang berharga itu.

Juga dari para pedagang inilah orang-orang Dayak memperoleh barang-barang dagangan lain selain gong dan guci. Salah satunya adalah garam. Memang ada beberapa kelompok Dayak, seperti misalnya suku Kelabit dan Lun Daya, yang beruntung memiliki sumber garam sendiri yang dekat dengan mereka, namun sebagian besar kelompok-kelompok di tempat lain bergantung pada perdagangan untuk memperoleh komoditi penting ini. Hal yang sama terjdi juga dengan logam. Orang-orang Kenyah di Apo Kayan dapat mengambil dan mengerjakan logam mereka sendiri, namun sebagian besar kelompok Dayak tergantung pada perdagangan untuk memperoleh logam untuk senjata dan alat-alat pertanian mereka. Bagi sebagian kelompok Dayak yang tinggal secara menetap (bukan berpindah-pindah), perdagangan juga merupakan sumber untuk memperoleh benda-benda seperti kain, tembakau, dan saat ini juga uang.

Para pedagang Melayu dan Bugis ini hanyalah perantara dalam kerangka perdgangan yang jauh lebih luas. Orang-orang Dayak biasanya berdagang langsung dengan para pedagang dari hilir ini, namun sumber barang dagangan selalu Cina.

Sukar dikatakan dengan pasti, kapan orang-orang Cina pertama kali tiba di Kalimantan. Namun tidak dapat disangsikan bahwa mereka di pulau itu sudah lama, dan bersifat tetap. Heine-Geldern (1945: 147) menulis :

Setelah mempertimbangkan semua hal, kita mungkin akan sampai pada kesimpulan bahwa pengaruh Cina secara langsung di Indonesia mulai setidak-tidaknya sejak permulaan jaman Han, yaitu paling lambat pada abad I sebelum Masehi. Namun, disain-disain perhiasan suku Dayak di Kalimantan dan orang-orang Ngadha di Flores jelas berkaitan dengan disain-disain Cina dari jaman Chou, sehingga kita tidak dapat menghindari kesimpulan bahwa kontak-kontak dengan Cina telah dimulai sejak dini sekali, sekitar permulaan abad III sebelum Masehi, bahkan mungkin lebih dini lagi.

Hasil pokok hutan Kalimantan yang banyak dicari selama berabad-abad oleh orang-orang Cina, India, Arab, dan Parsi (Wolters 1967). Benda-benda yang merupakan bahan-bahan dasar farmasi Cina, yang telah menarik orang Cina ke Kalimantan sejak permulaan jaman perdagangan maritim. Kebutuhan akan benda-benda inilah yang telah membawa orang-orang Cina bukan saja untuk mempertukarkan gong dan guci, tetapi juga barang-barang perdagangan dasar dengan penduduk asli pedalaman Kalimantan.

Dikutip dari tulisan : Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi : Carl F. Hoffman : ('Punan Liar' Di Kalimantan : Alasan Ekonomis) , penyunting : Michael R. Dove. Yayasan Obor Indonesia, 1985, p. 144.

back to article list

           

save the orangutans