Kearifan Dayak Dalam Huma Betang
GONG Majalah Seni dan Budaya NusantaraDiambil dari Resensi - Edisi: 112/X/2009
Oleh: Agus Bing
Mengaktualisasikan nilai-nilai kearifan lokal Suku Dayak. Gaya campursari menjadi ciri-khasnya.
Huma Betang yang merupakan prinsip hidup Suku Dayak mencoba diekspresikan secara musikal lewat “Mangatang Utus.” Album yang lagunya berkisah tentang kearifan lokal dan bermakna kebersamaan tersebut bergaya campursari ala Dayak. Syairnya dinyanyikan dalam bahasa Dayak Ngaju—biasa digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sementara instrumennya adalah perpaduan antara alat tradisi timur seperti kecapi, gong, kendang, suling, yang dimixed dengan alat musik barat: gitar elektrik, piano, drum, serta bass.
Seperti makna Huma Betang, album yang sebagian besar lagunya diciptakan oleh Nila Riwut tersebut berisikan nasehat pada generasi muda di sana. Yang, sekalipun telah mengalami kemajuan zaman, tapi diharapkan tetap ingat dengan warisan leluhur. Bertolak dari itulah keberadaannya sebagai suku Dayak yang selalu menjunjung tinggi “kebersamaan” bisa dipahami. Seperti yang dinyanyikan dalam nomor Mars Balinga. Lagu yang aransemennya digarap dengan corak riang dan bersemangat ini memang berisikan anjuran yang mengharapkan setiap generasi muda suku Dayak tetap melestarikan budaya leluhurnya. Sekalipun, peradaban semakin mengancam keberadaan budaya yang adiluhung tersebut.
Selain Mars Balinga, nilai-nilai kearifan lokal juga bisa diapresiasi dalam nomor Manaser Penatau tatu Hiang. Lagu dengan tempo sedang tersebut memuat ajaran moral Dayak yang intinya mengajak para generasi muda untuk selalu menyelami kekayaan seni budaya serta adat istiadat Dayak. Lagu ini juga mengajarkan, jangan sampai masyarakat Dayak tersingkir, kehilangan jati diri.
Yang cukup menarik dari album yang seluruhnya berjumlah 10 nomor tersebut, selain dua lagu di atas dan lagu-lagu seperti Bawin Dayak, Untus Dayak, Ajar Ikei Bue, Taharu, Esun Tambi, Oh Idang, oh Apang, Kereng Bangkirai, adalah lagu Mohing Asang. Lagu ini—sesuai keterangan yang termuat dalam sampul album—memiliki dua nuansa berbeda. Pada satu sisi menawarkan warna musikal berkatrakter entik kontemporer dan pada sisi lain juga ada warna musikal yang semi-orksetra etnik. Namun demikian, sebagaimana lagu-lagu lainnya, lagu ini juga menawarkan spirit kebersamaan yang diekspresikan melalui syair. Yakni mencitrakan adanya semangat membara bagai genderang perang yang biasa dibunyikan kepala suku Ot Danum pada masa dahulu hingga masa perjuangan melawan penjajah di bumi Kalimantan.
Pendeknya, album “Mangatang Utus” bisa diartikan sebagai representasi moral Dayak yang pada dasarnya selalu menjunjung tingga kebersamaan. Sebuah prinsip hidup paling hakiki yang hingga kini masih dipegang teguh masyarakat di sana. Namun, lepas dari garapan musiknya yang pada dasarnya memang cukup lumayan, namun alangkah indahnya bilamana warna etnisnya lebih dipertajam. Sekalipun, format yang digunakan tetap menggunakan gaya barat berbentuk combo band.
Huma Betang yang merupakan prinsip hidup Suku Dayak mencoba diekspresikan secara musikal lewat “Mangatang Utus.” Album yang lagunya berkisah tentang kearifan lokal dan bermakna kebersamaan tersebut bergaya campursari ala Dayak. Syairnya dinyanyikan dalam bahasa Dayak Ngaju—biasa digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Sementara instrumennya adalah perpaduan antara alat tradisi timur seperti kecapi, gong, kendang, suling, yang dimixed dengan alat musik barat: gitar elektrik, piano, drum, serta bass.
Seperti makna Huma Betang, album yang sebagian besar lagunya diciptakan oleh Nila Riwut tersebut berisikan nasehat pada generasi muda di sana. Yang, sekalipun telah mengalami kemajuan zaman, tapi diharapkan tetap ingat dengan warisan leluhur. Bertolak dari itulah keberadaannya sebagai suku Dayak yang selalu menjunjung tinggi “kebersamaan” bisa dipahami. Seperti yang dinyanyikan dalam nomor Mars Balinga. Lagu yang aransemennya digarap dengan corak riang dan bersemangat ini memang berisikan anjuran yang mengharapkan setiap generasi muda suku Dayak tetap melestarikan budaya leluhurnya. Sekalipun, peradaban semakin mengancam keberadaan budaya yang adiluhung tersebut.
Selain Mars Balinga, nilai-nilai kearifan lokal juga bisa diapresiasi dalam nomor Manaser Penatau tatu Hiang. Lagu dengan tempo sedang tersebut memuat ajaran moral Dayak yang intinya mengajak para generasi muda untuk selalu menyelami kekayaan seni budaya serta adat istiadat Dayak. Lagu ini juga mengajarkan, jangan sampai masyarakat Dayak tersingkir, kehilangan jati diri.
Yang cukup menarik dari album yang seluruhnya berjumlah 10 nomor tersebut, selain dua lagu di atas dan lagu-lagu seperti Bawin Dayak, Untus Dayak, Ajar Ikei Bue, Taharu, Esun Tambi, Oh Idang, oh Apang, Kereng Bangkirai, adalah lagu Mohing Asang. Lagu ini—sesuai keterangan yang termuat dalam sampul album—memiliki dua nuansa berbeda. Pada satu sisi menawarkan warna musikal berkatrakter entik kontemporer dan pada sisi lain juga ada warna musikal yang semi-orksetra etnik. Namun demikian, sebagaimana lagu-lagu lainnya, lagu ini juga menawarkan spirit kebersamaan yang diekspresikan melalui syair. Yakni mencitrakan adanya semangat membara bagai genderang perang yang biasa dibunyikan kepala suku Ot Danum pada masa dahulu hingga masa perjuangan melawan penjajah di bumi Kalimantan.
Pendeknya, album “Mangatang Utus” bisa diartikan sebagai representasi moral Dayak yang pada dasarnya selalu menjunjung tingga kebersamaan. Sebuah prinsip hidup paling hakiki yang hingga kini masih dipegang teguh masyarakat di sana. Namun, lepas dari garapan musiknya yang pada dasarnya memang cukup lumayan, namun alangkah indahnya bilamana warna etnisnya lebih dipertajam. Sekalipun, format yang digunakan tetap menggunakan gaya barat berbentuk combo band.