Organ Kacapi
Di Kalimantan terdapat pula jenis alat musik petik atau alat musik chordofhone, yaitu alat musik petik Lutung, Odeng, dan Sambi atau Sampe’ atau Sape’ atau Sampek atau Sapek seperti yang terdapat di Kalimantan Barat dan di Kalimantan Timur, Panting dari Kalimantan Selatan, Kacapi dari suku Dayak Deyah di Kalimantan Selatan, dan Kacapi dari suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Semua instrumen tersebut dapat digolongkan ke dalam kelompok alat musik Lute dan dapat juga disebut alat musik Kacapi atau Kecapi, istilah Lute sendiri berasal dari bahasa Arab al’ud yang berarti kayu.[1]
Dibanding dengan alat musik petik yang sejenis yang ada di Kalimantan, Kacapi dari suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah memiliki perbedaan-perbedaan, baik dilihat dari organologi dan tangga nadanya. Perbedaan-perbedaan itu meliputi tangga nada pada Kacapi yang menggunakan tangga nada minor anhemitonik pentatonic, Kacapi tidak memiliki fret atau garis pembatas wilayah nada, bridge atau jembatan atau alas senar dapat digeser sesuai keinginan, body atau badan atau tubuh Kacapi lebih ramping, memiliki neck atau leher yang sekaligus sebagai fingerboard, lubang resonansi atau sound hole berada di depan dan berukuran kecil.
Bila mengacu pada tulisan Pieter Eduard Johannes Ferdinandus dalam alat musik Jawa kuno, Kacapi suku Dayak Ngaju tergolong dalam jenis Lute berbadan langsing dan menyempit, lehernya berfungsi sebagai pengatur nada, dengan ukuran panjang atau pendek, dengan bentuk leher lurus.[2]

Bentuk dan Mitologi Kacapi
Bentuk Kacapi suku Dayak Ngaju, baik yang bersenar dua maupun bersenar tiga, lebih menyerupai bentuk dayung atau kayuh sampan atau menyerupai kayuh perahu (Besei lasang dalam bahasa Ngaju). Kacapi tergolong instrumen musik tata vadya / cordofhone yang sumber bunyinya berupa cord, yaitu tali atau dawai.[3]
Masyarakat suku Dayak Ngaju meyakini bahwa Kacapi memiliki daya magis, terbukti dengan digunakannya Kacapi sebagai salah satu sarana penting dalam upacara ritual Nyangiang dan upacara Pantan Adat. Pembuatan Kacapi biasanya dilakukan dengan cara manual (hand made), yang artinya tidak menggunakan mesin khusus. Dahulu hanya menggunakan alat yang sangat sederhana dalam pembuatan Kacapi, kini pun masih menggunakan cara manual dengan menggunakan peralatan gergaji, pisau atau parang, tatah atau pahat, ampelas atau kertas penghalus dan lain-lain.
Ada pantangan bagi para pembuat Kacapi atau pemusik Kacapi, yaitu tidak boleh membuat Kacapi dengan menambahkan polesan bahan logam mulia atau emas (Bulau dalam bahasa Dayak Ngaju) di tubuh Kacapi. Hal ini diyakini dapat menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan, diyakini pula bahwa orang yang mendengar permainan Kacapi tersebut akan terganggu pikirannya, setiap waktu akan teringat permainan Kacapi tersebut, sehingga lupa dengan hal-hal yang lain selain ingin mendengarkan permainan Kacapi tersebut.[4]
Pembuat Kacapi rata-rata mampu memainkan Kacapi, sekaligus juga sebagai pemusik Kacapi. Ukuran panjang Kacapi dapat pula diukur menyamai tinggi atau panjang jarak dari ujung kaki sampai dengan pusar pada bagian perut si pembuat dalam posisi berdiri tegak. Pengukuran menggunakan cara ini diyakini akan menghasilkan suara Kacapi yang mampu menyentuh hati dan perasaan pendengarnya.[5]



[1] Pieter Eduard Johannes Ferdinandus, Alat Musik Jawa Kuno (Yogyakarta : Yayasan Mahardhika, 2003), p. 49.[2] Ibid, p. 49.[3] Ibid, p. 48.[4] Wawancara dengan Bajik R Simpei dan D. Songot Ipay, Idem.[5] Wawancara, Idem.





save the orangutans